Pengertian Cancel Culture yang Sering Terjadi di Kalangan Influencer dan Artis

Volkpop – Versi Indonesia dari film remake A Business Proposal memiliki jumlah penonton yang rendah. Penyebabnya diduga karena kontroversi yang melibatkan aktor utamanya, Abidzar Al-Ghifari.

Selama promosi film ini, Abidzar mengaku hanya menonton satu episode dari drama Korea aslinya dan mengatakan bahwa ia tidak membutuhkan penggemar K-Drama untuk menonton filmnya. Pernyataan ini memicu kemarahan publik, yang akhirnya menyerukan budaya batal menonton, atau memboikot film tersebut.

Baca juga: Menteri Kebudayaan Fadli Zon Memberikan Penghargaan Sayembara Logo Baru Kemenbud RI Periode 2024-2029

Baca juga: Menteri Kebudayaan Fadli Zon Memberikan Penghargaan Sayembara Logo Baru Kemenbud RI Periode 2024-2029

Kasus ini hanyalah salah satu dari sekian banyak contoh cancel culture, terutama di era media sosial. Fenomena ini sering digunakan sebagai bentuk hukuman sosial, namun juga mengundang perdebatan karena dampaknya bisa sangat luas.

Jadi, apa sebenarnya budaya cancel itu? Apakah ini bentuk keadilan sosial, atau justru berbahaya? Liputan6.com merangkum dari berbagai sumber pada Sabtu (2/8/2025), berikut penjelasan lengkapnya.

Apa yang dimaksud dengan Cancel Culture?

Secara sederhana, cancel culture adalah bentuk penolakan sosial yang modern. Berbeda dengan boikot tradisional, cancel culture memanfaatkan kekuatan media sosial untuk mengamplifikasi suara penolakan. Definisi dari berbagai sumber berbeda-beda; ada yang mendefinisikannya sebagai bentuk modern dari pengucilan, tekanan sosial untuk menunjukkan ketidaksetujuan, atau bahkan sebagai ekspresi dari hak pilihan untuk menarik dukungan dari seseorang atau sesuatu yang dianggap menyinggung.

Merriam-Webster mendefinisikannya sebagai “praktik atau kecenderungan pembatalan massal untuk menunjukkan ketidaksetujuan dan memberikan tekanan sosial”, sementara Cambridge Dictionary menyebutnya sebagai “cara berperilaku di mana orang menolak atau berhenti mendukung seseorang karena suatu alasan”.

Baca juga: Profil Bangkok United yang Resmi Rekrut Pratama Arhan Sebagai Pemain Baru, Apakah Salah Satu Klub Besar di Thailand? 

Baca juga: Link Nonton Drakor Love Scout Eps 1-2 Sub Indo Full Movie, Lengkap Sinopsis dan Bocoran Spoilernya

Cancel culture sering terjadi di media sosial, di mana warganet dengan cepat menyebarkan informasi dan mendesak orang untuk berhenti mendukung individu atau organisasi tertentu.

Beberapa karakteristik dari cancel culture antara lain:

  • Ajakan untuk memboikot orang atau produk tertentu.
  • Penarikan dukungan dari publik, sponsor atau perusahaan.
  • Tekanan sosial bagi individu yang diboikot untuk meminta maaf atau menghadapi konsekuensi.

Cancel culture dapat terjadi pada siapa saja, mulai dari selebriti, politisi, perusahaan, hingga orang biasa yang menjadi viral karena tindakan atau ucapannya yang kontroversial.

Sejarah dan Perkembangan Cancel Culture

Fenomena cancel culture sebenarnya bukanlah hal yang baru. Konsep ini sudah ada sejak lama dalam bentuk boikot sosial, namun berkembang pesat di era media sosial.

Awal Mula Munculnya Cancel Culture

Cancel culture mulai muncul di blog Tumblr pada tahun 2010, terutama melalui diskusi fandom di blog “Your Fave Is Problematic”. Blog ini membahas alasan mengapa idola atau figur publik dianggap bermasalah dan layak diboikot.

Seiring berjalannya waktu, budaya batal bergabung meluas ke Twitter (X), Instagram, YouTube, dan TikTok, di mana menjadi lebih mudah untuk menyerukan pemboikotan terhadap tokoh-tokoh terkenal.

Baca juga: Waspadai Asam Urat di Leher, Kenali Gejalanya Lebih Dini Agar Terhindar dari Kelumpuhan

Baca juga: Lagu Baru Lisa BLACKPINK Hasil Kolaborasi Doja Cat & RAYE Langsung Trending di Youtube

Perkembangan di Era Digital

Pada tahun 2018, istilah cancel culture semakin populer, terutama setelah selebriti seperti Taylor Swift dan Kanye West mengalami kampanye boikot besar-besaran.

Bahkan mantan Presiden Amerika Serikat Barack Obama pun mengkritik cancel culture dalam sebuah wawancara. Ia menyatakan bahwa budaya ini tidak selalu menghasilkan perubahan yang berarti, namun lebih sering digunakan untuk menjatuhkan seseorang tanpa memberikan kesempatan untuk belajar dari kesalahan.

Di Indonesia, budaya batal juga mulai diterapkan, meskipun sebelumnya lebih banyak orang yang “dimaafkan” atas kesalahannya. Namun, dengan meningkatnya kesadaran sosial dan kekuatan media sosial, ada banyak kasus di mana figur publik harus menghadapi dampak besar akibat budaya cancel.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *